Hak Prerogatif
Prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa ( dipilih sebagai yang
paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang
pertama memberi suara), praerogare ( diminta sebelum
meminta yang lain).
Dalam prakteknya kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut
dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak
Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.
Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki
oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak
dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem
pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik
raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang
dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh
yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup
kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan
kekuasaan secara tegas, seperti Amerika Serikat), seperti membuat
kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.
Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model
kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan
yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya
sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara
modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali
dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden.
Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata,
misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga
dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering
dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo Wahjono
menyatakan pendapatnyayang akhirnyamemberikan kesimpulan bahwa hak prerogatif
yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol
lembaga negara lain.
Bentuk kekuasaan Presiden di Indonesia
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Kekuasaan
Kepala Negara
Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif,
simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan
utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan Presiden sebagai
kepala negara diatur dalam UUD 1945 Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden
sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan
yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain.
- Kekuasaan
Kepala Pemerintahan
Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam
UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan
eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan
pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan
lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan
pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan
perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi
administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi
dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap
besar dan mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang
ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945,
fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR.
- Kekuasaan
Legislatif
UUD 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama
dengan DPR. Presiden adalah “partner” DPR dalam menjalankan fungsi legislatif.
Dalam kenyataannya, Presiden mempunyai kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR
dalam hal pembentukan undang-undang, karena penetapan akhir dari suatu
undang-undang yang akan diberlakukan ada di tangan Presiden. Produk
undang-undang yang dikeluarkan orde baru lebih memihak kekuasaan daripada
kehendak rakyat Indonesia. Oleh karena itu sistem check and balance mendesak
untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara
Presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka Presiden harus
menyatakan secara terbuka dan menggunakna hak vetonya. Dengan demikian, di
akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat diminta pertanggungjawabannya
baik di sidang umum maupun dalam pemilihan umum.
- Kategori
Kekuasaan Presiden
Kekuasaan Presiden RI dinyatakan secara eksplisit sebanyak 24 bentuk dalam
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme
pelaksanaannya, bentuk kekuasaan tersebut dikategorikan sebagai berikut :
A. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri. Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup
atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk
kekuasaan ini adalah
1. Kekuasaan tertinggi atas
AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI
2. Kekuasaan menyatakan
keadaan bahaya
3. Kekuasaan mengangkat
duta dan konsul
4. Kekuasaan pemerintahan
menurut UUD 1945
5. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri
6. Kekuasaan mengesahkan
atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR
7. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Jaksa Agung RI
8. Kekuasaan mengangkat
Panglima ABRI
9. Kekuasaan mengangkat
LPND
Mekanisme yang paling baik adalah mengadakan hearing terlebih dahulu di
DPR.
B. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan
DPR. Yang termasuk dalam kekuasaan ini adalah :
1. Kekuasaan menyatakan
perang dan membuat perdamaian
2. Kekuasaan membuat
perjanjian dengan negara lain
3. Kekuasaan membentuk undang-undang
4. Kekuasaan menetapkn
PERPU
5. Kekuasaan menetapkan
APBN
Sebelum melaksanakan kekuasaan tersebut, Presiden memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika DPR menganggap
penting suatu perjanjian, maka harus mendapat persetujuan DPR. Jika perjanjian
dianggap kurang penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus
mendapat persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan persetujuan
Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya peminggiran peranan
wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara.
C. Kekuasaan Presiden dengan konsultasi. Kekuasaan tersebut adalah :
1. Kekuasaan memberi grasi
2. Kekuasaan memberi
amnesti dan abolisi
3. Kekuasaan memberi
rehabilitasi
4. Kekuasaan memberi
gelaran
5. Kekuasaan memberi tanda
jasa dan tanda kehormatan lainnya
6. Kekuasaan menetapkan
peraturan pemerintah
7. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan hakim-hakim
8. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Hakim Agung, ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota MA
9. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPA
10. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan anggota BPK
11. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Wakil jaksa agung dan jaksa agung Muda
12. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Kepala Daerah Tingkat I
13. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera MA
14. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Sekjen, Irjen, dan Dirjen departemen
15. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Sekjen DPA
16. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Sekjen BPK
17. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan anggota-anggota MPR yang diangkat
18. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan anggota-anggota DPR yang diangkat
19. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Indonesia
20. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Rektor
21. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan yang setingkat dengan deputi LPND
Sebagai contoh, kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya.
Di masa datang, Presiden harus mendapat usulan atau pertimbangan dulu dari
Dewan Tanda-tanda Kehormatan, dan Presiden dengan sungguh-sungguh memperhatikan
pertimbangan atau usul.
Disamping itu di dalam penjelasan pasal 10,11,12,13,14 dan 15 disebutkan
bahwa kekuasaan Presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah konsekuensi dari
kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Kekuasaan ini lazim disebut pula
sebagai kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau
merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, maupun advis dari
suatu lembaga tinggi negara lainnya. Jadi, bukan kewenangan khusus (hak
prerogatif) yang mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar